Ini rasanya hati yang berkecai
=====================
Mungkin ini rasanya
Bila hati mula berkecai
Sudah berpurnama retak nya menjalar
Aku masih tidak percaya
Sampailah luluh kepingan hati, bersama air mata
Baru ku sedar hati ini sudah mula hancur
Baru ku rasa betapa sesaknya dada ini
Baru ku endah, sejuknya pipi dek air mata yang pergi
Namun sudah terlambat, hati ini sudah berkecai
Mana mungkin ku ulang masa yang lalu
Betapa dekat itu tak bermakna sampai
Betapa wangi itu mungkin akhirnya layu
Inilah aku wahai Tuhan
Berlutut di medan ini
Menerima kekalahan yang mungkin selayaknya untukku
Betapa aku tak mampu lagi
Menahan barang sakit dan duka di hati ini
Betapa disebalik segala kekuatan ku dan segala pengharapanku
Bak gula sesudu,
Cuba memaniskan selautan air dari takdir-Mu
Ah, betapa baru ku faham
Aku memang tak mampu dari mulanya lagi
Dan semua ini tidak lain dari Engkau menunjukkan kedaulatan kuasa-Mu ke atas ku
Yang cuma mampu menangisi hati yang hancur ini
Wahai Tuhan yang punya setiap kudrat dalam diri ini
Betapa aku sedar, aku cuma kain buruk menanti hari
Kalau kesimpang-kesimpanglah aku
Ku pohon pengampunan-Mu dari kelemahan diri ini
Mungkin tak layak untuk aku memiliki hati ini
Thursday, November 06, 2008
Lautan api
========
Keluk-keluk sungai deras ini sudah jadi biasa
Bau darah dan air mata yang bertatah di tebing-tebingnya
Sudah jadi alpa di mata
Batu-batu tajam menusuk meluka tiap inci kaki kecil ini
Sudah tidak terasa lagi
Sudah bertahun rasanya aku lalui sungai perit ini
Sehari demi sehari memandang sayup-sayup ke hadapan
Rasa-rasanya muara sungai sudah pun sampai.
Dapatlah aku berehat buat seketika
Buat mengukir barang seutas senyum
Buat meneguk barang secakir tenang
Tiba nya aku ke muara
Baru ku sedar lautan api yang ganas sedang menanti
Bahang nya mencair segala mimpi
Bukan lagi sekadar arus deras sebuah sungai usang
Kini ombak menggunung perlu bertatahkan api
Apalah sangat luka-luka kecil di kaki,
Sedangkan lautan ini, mungkin patah riuk tulang belulang ku nanti
Tersipuh aku di pantai berdarah
Tak mampu lagi aku berdiri,
Segagah-gagah sang diri ini, mampukah ku harungi lautan berduri?
Wahai Tuhan yang punya simpati
Sudah penat hamba-Mu berlari, ke kiri ke kanan mencari erti
Tapi hamba-Mu ini lemah dan kerdil, tiada lagi kudrat di tangan, tiada lagi tenaga di kaki
Tuhan, hamba-Mu penat, berjuang tiada henti-henti,
dari sungai darah ke lautan api.
Wahai Tuhan,
tidaklah layak diri ini memohon dari-Mu
Yang punya Keagungan dari segala Keagungan
Yang punya Kehebatan dari segala kehebatan
Sedangkan yang ingin kupersembahkan hanyalah sekeping hati kotor, usang, lusuh bersawangkan dosa, terkulai berbalut sepi
Namun Tuhan, bahang lautan ganas ini tak mampu ku tahan lagi
Apakah kiranya ada barang perca dari simpati
Tidaklah ku minta agar kau belah lautan ini seperti kau belah laut merah buat seorang Nabi
Mungkin cukup agar kau teguhkan hati ini,
agar, jika terbakar pun kulit dan tulang belulang, biarlah hatiku teguh berdiri
Mungkin dengan berkat kasih sayang-Mu, akan hanyut juga ia ke pantai hakiki
========
Keluk-keluk sungai deras ini sudah jadi biasa
Bau darah dan air mata yang bertatah di tebing-tebingnya
Sudah jadi alpa di mata
Batu-batu tajam menusuk meluka tiap inci kaki kecil ini
Sudah tidak terasa lagi
Sudah bertahun rasanya aku lalui sungai perit ini
Sehari demi sehari memandang sayup-sayup ke hadapan
Rasa-rasanya muara sungai sudah pun sampai.
Dapatlah aku berehat buat seketika
Buat mengukir barang seutas senyum
Buat meneguk barang secakir tenang
Tiba nya aku ke muara
Baru ku sedar lautan api yang ganas sedang menanti
Bahang nya mencair segala mimpi
Bukan lagi sekadar arus deras sebuah sungai usang
Kini ombak menggunung perlu bertatahkan api
Apalah sangat luka-luka kecil di kaki,
Sedangkan lautan ini, mungkin patah riuk tulang belulang ku nanti
Tersipuh aku di pantai berdarah
Tak mampu lagi aku berdiri,
Segagah-gagah sang diri ini, mampukah ku harungi lautan berduri?
Wahai Tuhan yang punya simpati
Sudah penat hamba-Mu berlari, ke kiri ke kanan mencari erti
Tapi hamba-Mu ini lemah dan kerdil, tiada lagi kudrat di tangan, tiada lagi tenaga di kaki
Tuhan, hamba-Mu penat, berjuang tiada henti-henti,
dari sungai darah ke lautan api.
Wahai Tuhan,
tidaklah layak diri ini memohon dari-Mu
Yang punya Keagungan dari segala Keagungan
Yang punya Kehebatan dari segala kehebatan
Sedangkan yang ingin kupersembahkan hanyalah sekeping hati kotor, usang, lusuh bersawangkan dosa, terkulai berbalut sepi
Namun Tuhan, bahang lautan ganas ini tak mampu ku tahan lagi
Apakah kiranya ada barang perca dari simpati
Tidaklah ku minta agar kau belah lautan ini seperti kau belah laut merah buat seorang Nabi
Mungkin cukup agar kau teguhkan hati ini,
agar, jika terbakar pun kulit dan tulang belulang, biarlah hatiku teguh berdiri
Mungkin dengan berkat kasih sayang-Mu, akan hanyut juga ia ke pantai hakiki
Monday, September 29, 2008
Salju Lebaran
Tika lebaran ini
mengapa saljunya lebih dingin?
Mengapa anginnya lebih mencengkam?
Mengapa hawanya lebih pedih?
Mungkin kerana, tika ini
Saljunya bernama rindu
Anginnya bernama sepi
Hawanya bernama sunyi
Lalu aku berteleku di permaidani empat wajah ini
Bersama simfoni takbir
Ku anyam jejurai mimpi
Ku sulam lebaran cita
Ku pintal bebenang sabar
Agar dapat ku hampar selimut ketabahan
Buat menghangat jiwa sunyi ini
Buat menahan dingin salju rindu
Buat memanas diri dari hawa sunyi
Akan aku tetap di sini, kerana di sini
ada takar perlu di si
ada janji perlu di kota
ada maruah perlu di bela
Tika lebaran ini
mengapa saljunya lebih dingin?
Mengapa anginnya lebih mencengkam?
Mengapa hawanya lebih pedih?
Mungkin kerana, tika ini
Saljunya bernama rindu
Anginnya bernama sepi
Hawanya bernama sunyi
Lalu aku berteleku di permaidani empat wajah ini
Bersama simfoni takbir
Ku anyam jejurai mimpi
Ku sulam lebaran cita
Ku pintal bebenang sabar
Agar dapat ku hampar selimut ketabahan
Buat menghangat jiwa sunyi ini
Buat menahan dingin salju rindu
Buat memanas diri dari hawa sunyi
Akan aku tetap di sini, kerana di sini
ada takar perlu di si
ada janji perlu di kota
ada maruah perlu di bela
Sunday, March 09, 2008
The first Monday after The Revolution
Call it the Malaysian revolution if you prefer but what happen last weekend was no
nonsense. It defines the very fabric of being a Malaysian. Here's a few of my take on
the election:
Have we really transend the racial barrier?
Johor is an Umno stronghold, not even when the whole Reformasi thing was every
Malaysian's favorite 'teh tarik topic' did the opposition manage to set a foot in
Johor, yet this time around, Pas actually scores 2 seats... let me say that again
just in case you missed it, Pas scored 2 seats!. I mean, I'm not that astonished if
DAP won any seat in Johor since the Chinese and Indian community are probably voting
for them, but Pas? Voting for Pas for the typical Malay Johorean is almost equivalent
of throwing your children to tigers and yet Pas won 2 seats, I suspect the Chinese
and Indian actually voted for Pas.
The same thing happen in Penang. No matter how bad the government is, Penang will
always stay loyal to BN and yet this time around DAP manage to wrestle Penang. I'm
sure that many of the Penang Malays actually voted for DAP.
In previous election, the races are always posed againts each other. When the Anwar
debacle was at its height, BN urge the Chineses and Indians to support them lest
there'll be people cutting off hands on every street corner in the country. When the
Chineses were all worked up on the Chinese schools matter, the Malays are urged to
vote for BN lest their children will be slaves to the Chinese masters and no Malay
will ever set foot in a University again.
And yet... and yet, this time around, while the fear-monggering still smell as badly
as before, it is mostly ignored. Have we, as a nation, moved away from fearing each
other and starting to leverage each other's strength instead? I can't say, but this
is really a move in the right direction if anything.
Pas and its Islamic agenda
To Pas: one word come to mind when talking about the Islamic agenda: Prioritise!.
Islam promotes values which are acceptable to all and I'm sure a lot of my non-Muslim
friends would cringe if people start cutting hands left and right. [And BTW, Islam
does not advocate cutting off hands left and right, everything must be done through a
court of justice and the guilty must be guilty "beyond ANY doubt", not just "beyond
reasonable doubt"]. So, as starters please propagate the Islamic values first. I'm
sure with values and good governance alone, Pas has a lot to implement. In my
opinion, Pas' Islamic agenda should start with these:
1) Be humble and honest to people, be greatful to God
2) Freedom and transparency
3) Let experts run things they are expert in [There was a hadith that says - Give
responsibility to those who are experts in it]- (I.E. don't let a politician run a University)
These three values alone would keep Pas busy until the next election. And don't ever
do anything radical (like publishing another ISD) before getting consent from the
people who elected you in the first place.
All the best to Malaysians
Call it the Malaysian revolution if you prefer but what happen last weekend was no
nonsense. It defines the very fabric of being a Malaysian. Here's a few of my take on
the election:
Have we really transend the racial barrier?
Johor is an Umno stronghold, not even when the whole Reformasi thing was every
Malaysian's favorite 'teh tarik topic' did the opposition manage to set a foot in
Johor, yet this time around, Pas actually scores 2 seats... let me say that again
just in case you missed it, Pas scored 2 seats!. I mean, I'm not that astonished if
DAP won any seat in Johor since the Chinese and Indian community are probably voting
for them, but Pas? Voting for Pas for the typical Malay Johorean is almost equivalent
of throwing your children to tigers and yet Pas won 2 seats, I suspect the Chinese
and Indian actually voted for Pas.
The same thing happen in Penang. No matter how bad the government is, Penang will
always stay loyal to BN and yet this time around DAP manage to wrestle Penang. I'm
sure that many of the Penang Malays actually voted for DAP.
In previous election, the races are always posed againts each other. When the Anwar
debacle was at its height, BN urge the Chineses and Indians to support them lest
there'll be people cutting off hands on every street corner in the country. When the
Chineses were all worked up on the Chinese schools matter, the Malays are urged to
vote for BN lest their children will be slaves to the Chinese masters and no Malay
will ever set foot in a University again.
And yet... and yet, this time around, while the fear-monggering still smell as badly
as before, it is mostly ignored. Have we, as a nation, moved away from fearing each
other and starting to leverage each other's strength instead? I can't say, but this
is really a move in the right direction if anything.
Pas and its Islamic agenda
To Pas: one word come to mind when talking about the Islamic agenda: Prioritise!.
Islam promotes values which are acceptable to all and I'm sure a lot of my non-Muslim
friends would cringe if people start cutting hands left and right. [And BTW, Islam
does not advocate cutting off hands left and right, everything must be done through a
court of justice and the guilty must be guilty "beyond ANY doubt", not just "beyond
reasonable doubt"]. So, as starters please propagate the Islamic values first. I'm
sure with values and good governance alone, Pas has a lot to implement. In my
opinion, Pas' Islamic agenda should start with these:
1) Be humble and honest to people, be greatful to God
2) Freedom and transparency
3) Let experts run things they are expert in [There was a hadith that says - Give
responsibility to those who are experts in it]- (I.E. don't let a politician run a University)
These three values alone would keep Pas busy until the next election. And don't ever
do anything radical (like publishing another ISD) before getting consent from the
people who elected you in the first place.
All the best to Malaysians
Sunday, February 10, 2008
Terkenang aku
[Please listen to the music on the right when reading this poem]
Terkenang aku,
Seorang insan bernama Yahya,
Ketika ia melarikan diri
Lalu bersembunyi di dalam pohon kayu
Betapa zalim nya manusia yg pantas membelah pohon kayu itu
Ketika mata gergaji mula mengena kepala Yahya
Tidak dia berganjak walau seinci pun
Betapa tabahnya hati seorang insan bernama Yahya
Terkenang aku,
Seorang insan bernama Ibrahim
Sesudah ditinggalkan anak tersayang
Kehausan dipadang pasir
Nah hari ini mesti Ibrahim menyembelih pula sang anak ini
Namun tidak pernah Ibrahim berpatah balik
Kalau tidak kerana Jibril yang menghentikannya
sudah tentu tumpah ke tanah darah Ismail
Betapa kagumnya aku dengan Ibrahim
Terkenang aku,
Seorang wanita bernama Maryam
Ketika tidak jemu-jemu dia sujud pada Tuhannya
Nah, mengandung ia seorang anak
Tak pernah Maryam mengeluh akan takdir Tuhan ini
Biar pun jerih perih di hina kanan dan kiri
Betapa Ilahi itu Maha Pembela hamba-hamba-Nya
Bayi yang kecil ini berkata-kata menyebelahi ibu yang tak berdosa
Salam ku kepada Maryam dan bayinya
Terkenang aku,
Seorang insan bernama Muhammad
Betapa dia hanya seorang insan,
Mengalir darahnya apabila dipungkang dengan batu-batuan
Nah datang Jibril menjanjikan bantuan
Akan diruntuh gunung-ganang agar tenggelam bumi Taif
Namun tenangnya Muhammad menghalang
Moga di masa hadapan penduduk Taif disapa keimananan
Terkenang aku,
Seorang insan bernama aku
Tak pernah istiqamah dengan sabar
Tak pernah bersungguh dengan syukur
Tak pernah tahan dengan tawakal
Tak pernah sunyi dari megeluh takdir-Mu
Tak pernah lama dengan mengigat-Mu
Ku tahu wahai Tuhan, mana mungkin tabah ku setabahnya Yahya
Mana mungkin hati ku seteguhnya Ibrahim, mana mungkin redha ku seredhanya Maryam,
Mana mungkin tenang ku setenangnya Muhammad
Aku cuma insan biasa
Punya salah tak terbilang-bilang banyaknya
Sabar ku, syukur ku, tabah ku, tawakal ku, tenang ku
Tak terjejak pun barang seinci dari tingginya mereka
Kalau mereka berhimpun atas teratak keredhaan-Mu
Mana mungkin layak diri hamba-Mu yang miskin jijik dan kotor ini
Datang mengemis barang sisa-sisa diserambi yang sama
Ku tahu aku cuma pengemis
Namun Tuhan
Hati pengemis ini terkadang terasa juga sunyinya
Perasaan pengemis ini terkadang terguris jua
Tubuh kerdil pengemis ini terkadang bergetar menahan dingin
Wahai Tuhan,
Aku bersimpuh merayu dihujung-hujung sifat penyayang-Mu
Walaupun jauh hamba-Mu ini dari layak walaupun sebagai pengemis
Ku pohon barang sehirup dari sisa-sisa keampunan-Mu
Ku pinta sericis dari perca-perca rahmat-Mu
Buat aku berteduh diri ketika ribut
Buat teman ketika ajal memanggil pulang
[Please listen to the music on the right when reading this poem]
Terkenang aku,
Seorang insan bernama Yahya,
Ketika ia melarikan diri
Lalu bersembunyi di dalam pohon kayu
Betapa zalim nya manusia yg pantas membelah pohon kayu itu
Ketika mata gergaji mula mengena kepala Yahya
Tidak dia berganjak walau seinci pun
Betapa tabahnya hati seorang insan bernama Yahya
Terkenang aku,
Seorang insan bernama Ibrahim
Sesudah ditinggalkan anak tersayang
Kehausan dipadang pasir
Nah hari ini mesti Ibrahim menyembelih pula sang anak ini
Namun tidak pernah Ibrahim berpatah balik
Kalau tidak kerana Jibril yang menghentikannya
sudah tentu tumpah ke tanah darah Ismail
Betapa kagumnya aku dengan Ibrahim
Terkenang aku,
Seorang wanita bernama Maryam
Ketika tidak jemu-jemu dia sujud pada Tuhannya
Nah, mengandung ia seorang anak
Tak pernah Maryam mengeluh akan takdir Tuhan ini
Biar pun jerih perih di hina kanan dan kiri
Betapa Ilahi itu Maha Pembela hamba-hamba-Nya
Bayi yang kecil ini berkata-kata menyebelahi ibu yang tak berdosa
Salam ku kepada Maryam dan bayinya
Terkenang aku,
Seorang insan bernama Muhammad
Betapa dia hanya seorang insan,
Mengalir darahnya apabila dipungkang dengan batu-batuan
Nah datang Jibril menjanjikan bantuan
Akan diruntuh gunung-ganang agar tenggelam bumi Taif
Namun tenangnya Muhammad menghalang
Moga di masa hadapan penduduk Taif disapa keimananan
Terkenang aku,
Seorang insan bernama aku
Tak pernah istiqamah dengan sabar
Tak pernah bersungguh dengan syukur
Tak pernah tahan dengan tawakal
Tak pernah sunyi dari megeluh takdir-Mu
Tak pernah lama dengan mengigat-Mu
Ku tahu wahai Tuhan, mana mungkin tabah ku setabahnya Yahya
Mana mungkin hati ku seteguhnya Ibrahim, mana mungkin redha ku seredhanya Maryam,
Mana mungkin tenang ku setenangnya Muhammad
Aku cuma insan biasa
Punya salah tak terbilang-bilang banyaknya
Sabar ku, syukur ku, tabah ku, tawakal ku, tenang ku
Tak terjejak pun barang seinci dari tingginya mereka
Kalau mereka berhimpun atas teratak keredhaan-Mu
Mana mungkin layak diri hamba-Mu yang miskin jijik dan kotor ini
Datang mengemis barang sisa-sisa diserambi yang sama
Ku tahu aku cuma pengemis
Namun Tuhan
Hati pengemis ini terkadang terasa juga sunyinya
Perasaan pengemis ini terkadang terguris jua
Tubuh kerdil pengemis ini terkadang bergetar menahan dingin
Wahai Tuhan,
Aku bersimpuh merayu dihujung-hujung sifat penyayang-Mu
Walaupun jauh hamba-Mu ini dari layak walaupun sebagai pengemis
Ku pohon barang sehirup dari sisa-sisa keampunan-Mu
Ku pinta sericis dari perca-perca rahmat-Mu
Buat aku berteduh diri ketika ribut
Buat teman ketika ajal memanggil pulang
Monday, February 04, 2008
Temankan lah aku
[Please play the music on the right while reading this poem]
Mengalirnya darah masih tak kurang
Nafas ku terasa semakin hilang,
Jantungku semakin berdebar kencang
Ku pejamkan mata mencari tenang
Rupanya seribu lagi musuh mendatang
Wahai Tuhan, bagaimana mungkin ku akan menang?
Dicelah-celah air mata yang berlinang
Kupinta pada-Mu, temankan lah aku
Temankan lah aku
seperti mana kau temankan Ayub
Ketika bertalu-taku ujian-Mu membalun diri
Agar sabarku seberat barang secubit dari sabarnya
Temankan lah aku
Seperti mana kau temankan Musa
Ketika dihadapannya lautan dan dibelakangnya bala tentera
Moga kau bukakan lautan derita yang kini dihadapanku
Seperti kau bukakan laut merah untuknya
Temankan lah aku
Seperti mana kau temankan Muhammad
Ketika Khadijah pergi buat selamanya
Seperti mana kau bukakan langit Mi'raj untuknya
Maka buka kan lah wahai Tuhan
Barang barang cebis-cebis dari langit-Mu
Buat ku intai betapa agungnya kerajaan-Mu
Baru ku sedar diri ini selayak habuk kerdil lagi kotor
Baru aku tahu Tuhan
Betapa tidak lah layak kupinta
Untuk kau menemani ku
Berkarang bergunung dosa hamba-Mu
Layakkah aku ditemani-Mu wahai Tuhan?
Selayaknya,
Engkau menemani hamba-Mu seperti Ayub, Musa dan Muhammad
Betapa mereka nun jauh dipuncak sana
Sedangkan aku, masih mendaki gunung redha-Mu
Entah kesekiankalinya wahai Tuhan, aku jatuh berguling luka berdarah
Namun, malam yang dingin ini
Ku anyam seurat doa, sehelai sesal
Buat aku melapik tidurku
Moga sesampai fajar esok akan ku cuba lagi mendaki gunung redha-Mu
Moga, sesampainya aku dipuncak...
Sudilah engkau wahai Tuhan, menemankan seburuk-buruk hamba-Mu ini
[Please play the music on the right while reading this poem]
Mengalirnya darah masih tak kurang
Nafas ku terasa semakin hilang,
Jantungku semakin berdebar kencang
Ku pejamkan mata mencari tenang
Rupanya seribu lagi musuh mendatang
Wahai Tuhan, bagaimana mungkin ku akan menang?
Dicelah-celah air mata yang berlinang
Kupinta pada-Mu, temankan lah aku
Temankan lah aku
seperti mana kau temankan Ayub
Ketika bertalu-taku ujian-Mu membalun diri
Agar sabarku seberat barang secubit dari sabarnya
Temankan lah aku
Seperti mana kau temankan Musa
Ketika dihadapannya lautan dan dibelakangnya bala tentera
Moga kau bukakan lautan derita yang kini dihadapanku
Seperti kau bukakan laut merah untuknya
Temankan lah aku
Seperti mana kau temankan Muhammad
Ketika Khadijah pergi buat selamanya
Seperti mana kau bukakan langit Mi'raj untuknya
Maka buka kan lah wahai Tuhan
Barang barang cebis-cebis dari langit-Mu
Buat ku intai betapa agungnya kerajaan-Mu
Baru ku sedar diri ini selayak habuk kerdil lagi kotor
Baru aku tahu Tuhan
Betapa tidak lah layak kupinta
Untuk kau menemani ku
Berkarang bergunung dosa hamba-Mu
Layakkah aku ditemani-Mu wahai Tuhan?
Selayaknya,
Engkau menemani hamba-Mu seperti Ayub, Musa dan Muhammad
Betapa mereka nun jauh dipuncak sana
Sedangkan aku, masih mendaki gunung redha-Mu
Entah kesekiankalinya wahai Tuhan, aku jatuh berguling luka berdarah
Namun, malam yang dingin ini
Ku anyam seurat doa, sehelai sesal
Buat aku melapik tidurku
Moga sesampai fajar esok akan ku cuba lagi mendaki gunung redha-Mu
Moga, sesampainya aku dipuncak...
Sudilah engkau wahai Tuhan, menemankan seburuk-buruk hamba-Mu ini
Wednesday, January 23, 2008
Nothing short of a miracle
Have I prayed? Yes, oh God, I have prayed
Do I really think this can work? Probably not, at least not in this life
Do I know this is crazy? Yes i do
Am I crazy? Maybe
Am I stupid? Definitely not
Do I want to follow my heart? Yes, oh God, yes
Should I? I just can't
Should I give up? Probably
Can I give up? I can't, I just don't let me
Is this painful? Hell yes,
Then why don't I stop? Because I'm still breathing
Then, what do I expect? I guess, nothing short of a miracle
Why all this trouble? Because I'm human, I breath, I feel, I smile and I cry
Have I prayed? Yes, oh God, I have prayed
Do I really think this can work? Probably not, at least not in this life
Do I know this is crazy? Yes i do
Am I crazy? Maybe
Am I stupid? Definitely not
Do I want to follow my heart? Yes, oh God, yes
Should I? I just can't
Should I give up? Probably
Can I give up? I can't, I just don't let me
Is this painful? Hell yes,
Then why don't I stop? Because I'm still breathing
Then, what do I expect? I guess, nothing short of a miracle
Why all this trouble? Because I'm human, I breath, I feel, I smile and I cry
Monday, January 21, 2008
Aku cuma insan biasa
Aku cuma insan biasa
Bukan tentera gagah perkasa
Menanti musuh tak pernah putus asa
Walau harapan hampir tiada
Aku cuma insan biasa
Terkadang hati kecil ini terasa
Apakah yang kurang perlu dipinta?
Tak cukupkah sebuah senyum sedulang makna?
Aku cuma insan biasa
Punya batasan, punya air mata
Punya perasaan kekadang tak terkata
Punya hati yang boleh diluka
Aku cuma insan biasa
Tak pernah kuharap intan permata
Cuma secicip endah pembalut duka
Cuma selayang sayang pengakhir derita
Aku cuma insan biasa
Bukan tentera gagah perkasa
Menanti musuh tak pernah putus asa
Walau harapan hampir tiada
Aku cuma insan biasa
Terkadang hati kecil ini terasa
Apakah yang kurang perlu dipinta?
Tak cukupkah sebuah senyum sedulang makna?
Aku cuma insan biasa
Punya batasan, punya air mata
Punya perasaan kekadang tak terkata
Punya hati yang boleh diluka
Aku cuma insan biasa
Tak pernah kuharap intan permata
Cuma secicip endah pembalut duka
Cuma selayang sayang pengakhir derita
Friday, January 18, 2008
Aku sedia
Wahai Tuhan,
Kenal sangat aku kelibat ujian-Mu
Aku tahu ia datang untuk mengukuhkan iman ku yang kian layu
Namun ujian kali ini hancur luluh perit berdarah hati ku kernanya
Wahai Tuhan,
Jika mesti Kau retakkan hatiku
Ku pinta agar Kau tunggu sebentar,
Biar ku pejamkan mata ini sekuat-kuatnya
Biar ku genggam tangan ini seerat-eratnya
Biar ku gentas bibir ini menahan bisa
Nah Tuhan, aku telah sedia
Hancurkan lah hatiku selumat-lumatnya
Wahai Tuhan,
Kenal sangat aku kelibat ujian-Mu
Aku tahu ia datang untuk mengukuhkan iman ku yang kian layu
Namun ujian kali ini hancur luluh perit berdarah hati ku kernanya
Wahai Tuhan,
Jika mesti Kau retakkan hatiku
Ku pinta agar Kau tunggu sebentar,
Biar ku pejamkan mata ini sekuat-kuatnya
Biar ku genggam tangan ini seerat-eratnya
Biar ku gentas bibir ini menahan bisa
Nah Tuhan, aku telah sedia
Hancurkan lah hatiku selumat-lumatnya
Thursday, January 10, 2008
Sang Musim Salju
Wahai unggas sang musim salju
Dalam perjalanan mu mencari musim panas
Apatah sudi kau bawa sekali jerih perih di hati ku ini
Buang ia sejauh mungkin,
Jatuhkan ia ditengah lautan
Atau tinggalkan sahaja diperjalanan
Wahai dingin sang musim salju
Sedingin dingin dirimu
Beku dan retak lautan kerna saapan mu
Tahukah kau, dingin lagi sunyi di jiwa ku ini
Terkadang terjatuh aku melutut ke bumi
Kerna retak beku sebuah hati
Wahai Tuhan sang musim salju
Kau lah yang memiliki unggas dan dingin
Kau lah yang mentakdirkan sunyi jerih dan pedih
Di bumi sang musim salju ini Tuhan
Tak pernah jemu aku memohon
Tak pernah penat ku tahan tangis
Biar sang musim salju ini bagai tak mungkin reda
Walaupun mungkin ku rebah diganyang angin ribut dingin
Tempang luka berdarah di kunyah serigala salju
Hatiku sentiasa akan panas,
Kerna ku tahu janji-Mu
Kerna ku kenal kasih-Mu
Walaupun jauh hati hamba-Mu ini dari layak menerima
Sentiasa akan ku mengemis, barang seperca dari sayang-Mu
Wahai unggas sang musim salju
Dalam perjalanan mu mencari musim panas
Apatah sudi kau bawa sekali jerih perih di hati ku ini
Buang ia sejauh mungkin,
Jatuhkan ia ditengah lautan
Atau tinggalkan sahaja diperjalanan
Wahai dingin sang musim salju
Sedingin dingin dirimu
Beku dan retak lautan kerna saapan mu
Tahukah kau, dingin lagi sunyi di jiwa ku ini
Terkadang terjatuh aku melutut ke bumi
Kerna retak beku sebuah hati
Wahai Tuhan sang musim salju
Kau lah yang memiliki unggas dan dingin
Kau lah yang mentakdirkan sunyi jerih dan pedih
Di bumi sang musim salju ini Tuhan
Tak pernah jemu aku memohon
Tak pernah penat ku tahan tangis
Biar sang musim salju ini bagai tak mungkin reda
Walaupun mungkin ku rebah diganyang angin ribut dingin
Tempang luka berdarah di kunyah serigala salju
Hatiku sentiasa akan panas,
Kerna ku tahu janji-Mu
Kerna ku kenal kasih-Mu
Walaupun jauh hati hamba-Mu ini dari layak menerima
Sentiasa akan ku mengemis, barang seperca dari sayang-Mu
Tuesday, January 08, 2008
Sunday, January 06, 2008
Secebis kain buruk
[Please listen to the music on your right while reading this ]
Maafkan aku wahai mata
Kerana memaksa mu menahan tangis
Ku tahu sudah bermusim lamanya kau menahan sebak
Namun, terkadang, pipi ini basah jua
Maafkan aku wahai hati
Kerana tak ku tahu ke mana hendak ku lepaskan jeritan mu
Ku tahu deritamu setiap sapaan angin dingin bernama rindu
Kalaulah dunia ini tahu beban yang kau tanggung
Maafkan aku wahai jiwa
Kerana mengurung mu dalam gerimis dingin
Kesejukan menghitung bilah-bilah senja
Maafkan aku wahai Tuhan
Maafkan mataku yang tak mampu lagi menahan tangisnya
Maafkan hatiku yang tak tertahan jeritnya dan rindunya
Maafkan jiwaku yang tak tertahan sunyinya dan dinginnya
Bukan pintaku agar kau ringankan ujian ini
Kerana tidak selayaknya hamba mempersoal takdir-Mu
Apatah lagi, betapa tidak layaknya hamba-Mu ini untuk menerima kasih-Mu
Namun jika ada dihujung-hujung belas ihsan-Mu
Jika ada barang sisa-sisa dari rahmat-Mu
Ku pohon secebis kain buruk buat mengelap tangis ku ini
Secebis kain buruk buat menutup jeritan hatiku
Secebis kain buruk buat selimut ketika dingin rindu mencengkam bisa
Moga diri ini mampu tabah walau buat seketika
[Please listen to the music on your right while reading this ]
Maafkan aku wahai mata
Kerana memaksa mu menahan tangis
Ku tahu sudah bermusim lamanya kau menahan sebak
Namun, terkadang, pipi ini basah jua
Maafkan aku wahai hati
Kerana tak ku tahu ke mana hendak ku lepaskan jeritan mu
Ku tahu deritamu setiap sapaan angin dingin bernama rindu
Kalaulah dunia ini tahu beban yang kau tanggung
Maafkan aku wahai jiwa
Kerana mengurung mu dalam gerimis dingin
Kesejukan menghitung bilah-bilah senja
Maafkan aku wahai Tuhan
Maafkan mataku yang tak mampu lagi menahan tangisnya
Maafkan hatiku yang tak tertahan jeritnya dan rindunya
Maafkan jiwaku yang tak tertahan sunyinya dan dinginnya
Bukan pintaku agar kau ringankan ujian ini
Kerana tidak selayaknya hamba mempersoal takdir-Mu
Apatah lagi, betapa tidak layaknya hamba-Mu ini untuk menerima kasih-Mu
Namun jika ada dihujung-hujung belas ihsan-Mu
Jika ada barang sisa-sisa dari rahmat-Mu
Ku pohon secebis kain buruk buat mengelap tangis ku ini
Secebis kain buruk buat menutup jeritan hatiku
Secebis kain buruk buat selimut ketika dingin rindu mencengkam bisa
Moga diri ini mampu tabah walau buat seketika
Friday, January 04, 2008
The power of responsibility
In his book, the 7 habits of highly effective people, Stephen Covey dully define the word responsibility as "response+ability" or the ability to respond. Through the first habit, 'be proactive', Covey actually define the 'ability to respond' based solely on one's principles and not based outside factors. This is especially importat when we consider emotion: the emotion you are feeling right now, are they set purposely by you or by some outside factor? Can you "decide" to feel something despite of what's happening to you? Can you decide to feel "strong" despite being pounded to death?
Here's the story of one of the companion of the prophet (I think it was Ali, but not sure). It was in one of the battles in the early days of Islam (yup, if you bring something revolutionary, people will want to wage war on you). This companion of the prophet was fighting an enemy from the other side. He managed to subdue his enemy and the enemy felt down. Just before he was about to strike the final blow, the enemy spat on his face... and suddenly he stopped. When asked why didn't he delivered the final blow, he said "The enemy was waging a war towards Islam and I was there to protect my religion, when the enemy spat on me, he actually despised me, not Islam, it would be wrong for me to kill him"
A weaker man would have striked that final blow, it takes strong man to always evaluate one's inner principle and to take appropriate action (I.E. being able to respond appropriately - being responsible) according to that principle [of course, for muslims, the principle here would be Islam], not because you are caught up in some emotional momentum.
See how the prophet hone the sense of responsibility in his companions such that they would always, at all times, before any action, evaluate what response their principle requires and act in accordance with it. The question is how always is 'always'? I think the more frequent this evaluation is done, the closer a muslim to be a true muslim -- to reach taqwa.
I think it was Abu Bakr, another companion of the prophet, who said that taqwa is like walking in an alley full of thorns, you be very careful where you would step on. It is not too far fetched, I think, to relate Covey's first habit, 'be proactive' with taqwa (think of taqwa as a special version {Islamisiced, if I can say that} of being proactive).
Here's the story of one of the companion of the prophet (I think it was Ali, but not sure). It was in one of the battles in the early days of Islam (yup, if you bring something revolutionary, people will want to wage war on you). This companion of the prophet was fighting an enemy from the other side. He managed to subdue his enemy and the enemy felt down. Just before he was about to strike the final blow, the enemy spat on his face... and suddenly he stopped. When asked why didn't he delivered the final blow, he said "The enemy was waging a war towards Islam and I was there to protect my religion, when the enemy spat on me, he actually despised me, not Islam, it would be wrong for me to kill him"
A weaker man would have striked that final blow, it takes strong man to always evaluate one's inner principle and to take appropriate action (I.E. being able to respond appropriately - being responsible) according to that principle [of course, for muslims, the principle here would be Islam], not because you are caught up in some emotional momentum.
See how the prophet hone the sense of responsibility in his companions such that they would always, at all times, before any action, evaluate what response their principle requires and act in accordance with it. The question is how always is 'always'? I think the more frequent this evaluation is done, the closer a muslim to be a true muslim -- to reach taqwa.
I think it was Abu Bakr, another companion of the prophet, who said that taqwa is like walking in an alley full of thorns, you be very careful where you would step on. It is not too far fetched, I think, to relate Covey's first habit, 'be proactive' with taqwa (think of taqwa as a special version {Islamisiced, if I can say that} of being proactive).
Tuesday, January 01, 2008
Islam dan motivasi untuk membaiki diri
Orang Melayu tak cukup tamak
Itu antara frasa yang sering saya dengar sejak dibangku sekolah lagi. Orang Melayu, atas pengaruh Islam, tidak cukup tamak. Mereka cepat berpuas hati dengan apa yang mereka ada, tak tahu nak rasa tak cukup. Islam seringkali dipersalahkan kerana mengajar 'bersyukur' dan 'berpuas hari dengan nikmat yang ada' sehingga menyebabkan kemunduran muslim rata-rata.
Betapa ceteknya pemikiran kita
Di satu pihak, kita ada muslim yang menyalah tafsirkan (atau tidak cukup mentafsir) sifat bersyukur dan berpuas hati yang dipinta oleh Islam untuk 'justify' sifat malas mereka, di satu pihak lagi kita ada mereka yang menyalahkan Islam atas sifat bersyukur dan berpuas hati ini sehingga hilang motivasi untuk muslim bekerja keras.
Jadi kalau kita mesti berpuas hati dengan nikmat yang ada, what will drive us to do better?
"Ini la orang Islam" rungut seorang sahabat
"Kenapa?" tanya saya
"Tengok orang Jepun, mereka ada konsep Kaizen - constant and never ending improvement. Sentiasa memperbaiki, Islam pulak, asyik-asyik nak suruh 'berpuas hati' suruh bersyukur, kalau dah puas hati, buat apa nak improve, tak de sebab" katanya lagi sambil menggeleng-geleng kepala.
Persoalan ini sebenarnya sudah lama bermain-main dalam benak hati saya, kenapa perlu improve kalau dah berpuas hati. Saya tahu Islam memang menyuruh kita untuk improve tapi , dari satu segi, ia nampak berlawanan dengan 'bersyukur' dan 'berpuas hati'. Di mana jambatan antara dua konsep ini? Cuma semenjak dua ini saya temui jawapannya. Jawapannya ialah: tanggungjawab.
Mudahnya...
Semasa Rasullah hampir wafat, dia tidak mengira pencapaiannya, negeri mana sudah ditakluk, jajahan mana sudah diperbesar, pemimpin mana sudah dipengaruh, harta mana sudah dimiliki. Tetapi, baginda cuma bertanya kepada sahabat, sudahkah baginda selesaikan tanggungjawab baginda, para sahabat semua mengiakan pertanyaan itu.
Sebegitu besar peranan tanggungjawab dalam Islam sehingga Rasulnya pun risau mungkin tanggungjawab tak tertunai.
Jadi what drives muslim to be better? jawapannya tanggungjawab. It is our responsibility to be better, to improve... tak kira lah setakat mana kita berpuas hati dengan nikmat yang ada, tak kiralah setakat mana syukur kita, tapi sudah tanggungjawab muslim itu untuk improve. [In fact, to improve itu adalah satu tanda bersyukur: Rasulullah pernah ditanya isterinya, kenapa dia beribadat sehingga bengkak-bengkak kaki sedangkan dia sudah dijamin syurga - betapa jawab Rusullah, "[Kalau aku sudah dijamin syurga,] tidakkah aku mahu menjadi orang yang bersyukur" ]
Bukankah ada hadis Nabi yang memperkatakan, jika kita hendak menanam benih dan tiba-tiba datang Hari Kiamat, makan tanam juga benih itu. Itu tanggungjawab muslim. Muslim tak perlukan konsep canggih manggih (kaizen, 'tamak' etc.) untuk mamacu dirinya untuk improve, cukup kalau dia sedar improving one self is not a matter of vanity, but a responsibility.
Orang Melayu tak cukup tamak
Itu antara frasa yang sering saya dengar sejak dibangku sekolah lagi. Orang Melayu, atas pengaruh Islam, tidak cukup tamak. Mereka cepat berpuas hati dengan apa yang mereka ada, tak tahu nak rasa tak cukup. Islam seringkali dipersalahkan kerana mengajar 'bersyukur' dan 'berpuas hari dengan nikmat yang ada' sehingga menyebabkan kemunduran muslim rata-rata.
Betapa ceteknya pemikiran kita
Di satu pihak, kita ada muslim yang menyalah tafsirkan (atau tidak cukup mentafsir) sifat bersyukur dan berpuas hati yang dipinta oleh Islam untuk 'justify' sifat malas mereka, di satu pihak lagi kita ada mereka yang menyalahkan Islam atas sifat bersyukur dan berpuas hati ini sehingga hilang motivasi untuk muslim bekerja keras.
Jadi kalau kita mesti berpuas hati dengan nikmat yang ada, what will drive us to do better?
"Ini la orang Islam" rungut seorang sahabat
"Kenapa?" tanya saya
"Tengok orang Jepun, mereka ada konsep Kaizen - constant and never ending improvement. Sentiasa memperbaiki, Islam pulak, asyik-asyik nak suruh 'berpuas hati' suruh bersyukur, kalau dah puas hati, buat apa nak improve, tak de sebab" katanya lagi sambil menggeleng-geleng kepala.
Persoalan ini sebenarnya sudah lama bermain-main dalam benak hati saya, kenapa perlu improve kalau dah berpuas hati. Saya tahu Islam memang menyuruh kita untuk improve tapi , dari satu segi, ia nampak berlawanan dengan 'bersyukur' dan 'berpuas hati'. Di mana jambatan antara dua konsep ini? Cuma semenjak dua ini saya temui jawapannya. Jawapannya ialah: tanggungjawab.
Mudahnya...
Semasa Rasullah hampir wafat, dia tidak mengira pencapaiannya, negeri mana sudah ditakluk, jajahan mana sudah diperbesar, pemimpin mana sudah dipengaruh, harta mana sudah dimiliki. Tetapi, baginda cuma bertanya kepada sahabat, sudahkah baginda selesaikan tanggungjawab baginda, para sahabat semua mengiakan pertanyaan itu.
Sebegitu besar peranan tanggungjawab dalam Islam sehingga Rasulnya pun risau mungkin tanggungjawab tak tertunai.
Jadi what drives muslim to be better? jawapannya tanggungjawab. It is our responsibility to be better, to improve... tak kira lah setakat mana kita berpuas hati dengan nikmat yang ada, tak kiralah setakat mana syukur kita, tapi sudah tanggungjawab muslim itu untuk improve. [In fact, to improve itu adalah satu tanda bersyukur: Rasulullah pernah ditanya isterinya, kenapa dia beribadat sehingga bengkak-bengkak kaki sedangkan dia sudah dijamin syurga - betapa jawab Rusullah, "[Kalau aku sudah dijamin syurga,] tidakkah aku mahu menjadi orang yang bersyukur" ]
Subscribe to:
Posts (Atom)