Nothing short of a miracle
Have I prayed? Yes, oh God, I have prayed
Do I really think this can work? Probably not, at least not in this life
Do I know this is crazy? Yes i do
Am I crazy? Maybe
Am I stupid? Definitely not
Do I want to follow my heart? Yes, oh God, yes
Should I? I just can't
Should I give up? Probably
Can I give up? I can't, I just don't let me
Is this painful? Hell yes,
Then why don't I stop? Because I'm still breathing
Then, what do I expect? I guess, nothing short of a miracle
Why all this trouble? Because I'm human, I breath, I feel, I smile and I cry
Monday, January 21, 2008
Aku cuma insan biasa
Aku cuma insan biasa
Bukan tentera gagah perkasa
Menanti musuh tak pernah putus asa
Walau harapan hampir tiada
Aku cuma insan biasa
Terkadang hati kecil ini terasa
Apakah yang kurang perlu dipinta?
Tak cukupkah sebuah senyum sedulang makna?
Aku cuma insan biasa
Punya batasan, punya air mata
Punya perasaan kekadang tak terkata
Punya hati yang boleh diluka
Aku cuma insan biasa
Tak pernah kuharap intan permata
Cuma secicip endah pembalut duka
Cuma selayang sayang pengakhir derita
Aku cuma insan biasa
Bukan tentera gagah perkasa
Menanti musuh tak pernah putus asa
Walau harapan hampir tiada
Aku cuma insan biasa
Terkadang hati kecil ini terasa
Apakah yang kurang perlu dipinta?
Tak cukupkah sebuah senyum sedulang makna?
Aku cuma insan biasa
Punya batasan, punya air mata
Punya perasaan kekadang tak terkata
Punya hati yang boleh diluka
Aku cuma insan biasa
Tak pernah kuharap intan permata
Cuma secicip endah pembalut duka
Cuma selayang sayang pengakhir derita
Friday, January 18, 2008
Aku sedia
Wahai Tuhan,
Kenal sangat aku kelibat ujian-Mu
Aku tahu ia datang untuk mengukuhkan iman ku yang kian layu
Namun ujian kali ini hancur luluh perit berdarah hati ku kernanya
Wahai Tuhan,
Jika mesti Kau retakkan hatiku
Ku pinta agar Kau tunggu sebentar,
Biar ku pejamkan mata ini sekuat-kuatnya
Biar ku genggam tangan ini seerat-eratnya
Biar ku gentas bibir ini menahan bisa
Nah Tuhan, aku telah sedia
Hancurkan lah hatiku selumat-lumatnya
Wahai Tuhan,
Kenal sangat aku kelibat ujian-Mu
Aku tahu ia datang untuk mengukuhkan iman ku yang kian layu
Namun ujian kali ini hancur luluh perit berdarah hati ku kernanya
Wahai Tuhan,
Jika mesti Kau retakkan hatiku
Ku pinta agar Kau tunggu sebentar,
Biar ku pejamkan mata ini sekuat-kuatnya
Biar ku genggam tangan ini seerat-eratnya
Biar ku gentas bibir ini menahan bisa
Nah Tuhan, aku telah sedia
Hancurkan lah hatiku selumat-lumatnya
Thursday, January 10, 2008
Sang Musim Salju
Wahai unggas sang musim salju
Dalam perjalanan mu mencari musim panas
Apatah sudi kau bawa sekali jerih perih di hati ku ini
Buang ia sejauh mungkin,
Jatuhkan ia ditengah lautan
Atau tinggalkan sahaja diperjalanan
Wahai dingin sang musim salju
Sedingin dingin dirimu
Beku dan retak lautan kerna saapan mu
Tahukah kau, dingin lagi sunyi di jiwa ku ini
Terkadang terjatuh aku melutut ke bumi
Kerna retak beku sebuah hati
Wahai Tuhan sang musim salju
Kau lah yang memiliki unggas dan dingin
Kau lah yang mentakdirkan sunyi jerih dan pedih
Di bumi sang musim salju ini Tuhan
Tak pernah jemu aku memohon
Tak pernah penat ku tahan tangis
Biar sang musim salju ini bagai tak mungkin reda
Walaupun mungkin ku rebah diganyang angin ribut dingin
Tempang luka berdarah di kunyah serigala salju
Hatiku sentiasa akan panas,
Kerna ku tahu janji-Mu
Kerna ku kenal kasih-Mu
Walaupun jauh hati hamba-Mu ini dari layak menerima
Sentiasa akan ku mengemis, barang seperca dari sayang-Mu
Wahai unggas sang musim salju
Dalam perjalanan mu mencari musim panas
Apatah sudi kau bawa sekali jerih perih di hati ku ini
Buang ia sejauh mungkin,
Jatuhkan ia ditengah lautan
Atau tinggalkan sahaja diperjalanan
Wahai dingin sang musim salju
Sedingin dingin dirimu
Beku dan retak lautan kerna saapan mu
Tahukah kau, dingin lagi sunyi di jiwa ku ini
Terkadang terjatuh aku melutut ke bumi
Kerna retak beku sebuah hati
Wahai Tuhan sang musim salju
Kau lah yang memiliki unggas dan dingin
Kau lah yang mentakdirkan sunyi jerih dan pedih
Di bumi sang musim salju ini Tuhan
Tak pernah jemu aku memohon
Tak pernah penat ku tahan tangis
Biar sang musim salju ini bagai tak mungkin reda
Walaupun mungkin ku rebah diganyang angin ribut dingin
Tempang luka berdarah di kunyah serigala salju
Hatiku sentiasa akan panas,
Kerna ku tahu janji-Mu
Kerna ku kenal kasih-Mu
Walaupun jauh hati hamba-Mu ini dari layak menerima
Sentiasa akan ku mengemis, barang seperca dari sayang-Mu
Tuesday, January 08, 2008
Sunday, January 06, 2008
Secebis kain buruk
[Please listen to the music on your right while reading this ]
Maafkan aku wahai mata
Kerana memaksa mu menahan tangis
Ku tahu sudah bermusim lamanya kau menahan sebak
Namun, terkadang, pipi ini basah jua
Maafkan aku wahai hati
Kerana tak ku tahu ke mana hendak ku lepaskan jeritan mu
Ku tahu deritamu setiap sapaan angin dingin bernama rindu
Kalaulah dunia ini tahu beban yang kau tanggung
Maafkan aku wahai jiwa
Kerana mengurung mu dalam gerimis dingin
Kesejukan menghitung bilah-bilah senja
Maafkan aku wahai Tuhan
Maafkan mataku yang tak mampu lagi menahan tangisnya
Maafkan hatiku yang tak tertahan jeritnya dan rindunya
Maafkan jiwaku yang tak tertahan sunyinya dan dinginnya
Bukan pintaku agar kau ringankan ujian ini
Kerana tidak selayaknya hamba mempersoal takdir-Mu
Apatah lagi, betapa tidak layaknya hamba-Mu ini untuk menerima kasih-Mu
Namun jika ada dihujung-hujung belas ihsan-Mu
Jika ada barang sisa-sisa dari rahmat-Mu
Ku pohon secebis kain buruk buat mengelap tangis ku ini
Secebis kain buruk buat menutup jeritan hatiku
Secebis kain buruk buat selimut ketika dingin rindu mencengkam bisa
Moga diri ini mampu tabah walau buat seketika
[Please listen to the music on your right while reading this ]
Maafkan aku wahai mata
Kerana memaksa mu menahan tangis
Ku tahu sudah bermusim lamanya kau menahan sebak
Namun, terkadang, pipi ini basah jua
Maafkan aku wahai hati
Kerana tak ku tahu ke mana hendak ku lepaskan jeritan mu
Ku tahu deritamu setiap sapaan angin dingin bernama rindu
Kalaulah dunia ini tahu beban yang kau tanggung
Maafkan aku wahai jiwa
Kerana mengurung mu dalam gerimis dingin
Kesejukan menghitung bilah-bilah senja
Maafkan aku wahai Tuhan
Maafkan mataku yang tak mampu lagi menahan tangisnya
Maafkan hatiku yang tak tertahan jeritnya dan rindunya
Maafkan jiwaku yang tak tertahan sunyinya dan dinginnya
Bukan pintaku agar kau ringankan ujian ini
Kerana tidak selayaknya hamba mempersoal takdir-Mu
Apatah lagi, betapa tidak layaknya hamba-Mu ini untuk menerima kasih-Mu
Namun jika ada dihujung-hujung belas ihsan-Mu
Jika ada barang sisa-sisa dari rahmat-Mu
Ku pohon secebis kain buruk buat mengelap tangis ku ini
Secebis kain buruk buat menutup jeritan hatiku
Secebis kain buruk buat selimut ketika dingin rindu mencengkam bisa
Moga diri ini mampu tabah walau buat seketika
Friday, January 04, 2008
The power of responsibility
In his book, the 7 habits of highly effective people, Stephen Covey dully define the word responsibility as "response+ability" or the ability to respond. Through the first habit, 'be proactive', Covey actually define the 'ability to respond' based solely on one's principles and not based outside factors. This is especially importat when we consider emotion: the emotion you are feeling right now, are they set purposely by you or by some outside factor? Can you "decide" to feel something despite of what's happening to you? Can you decide to feel "strong" despite being pounded to death?
Here's the story of one of the companion of the prophet (I think it was Ali, but not sure). It was in one of the battles in the early days of Islam (yup, if you bring something revolutionary, people will want to wage war on you). This companion of the prophet was fighting an enemy from the other side. He managed to subdue his enemy and the enemy felt down. Just before he was about to strike the final blow, the enemy spat on his face... and suddenly he stopped. When asked why didn't he delivered the final blow, he said "The enemy was waging a war towards Islam and I was there to protect my religion, when the enemy spat on me, he actually despised me, not Islam, it would be wrong for me to kill him"
A weaker man would have striked that final blow, it takes strong man to always evaluate one's inner principle and to take appropriate action (I.E. being able to respond appropriately - being responsible) according to that principle [of course, for muslims, the principle here would be Islam], not because you are caught up in some emotional momentum.
See how the prophet hone the sense of responsibility in his companions such that they would always, at all times, before any action, evaluate what response their principle requires and act in accordance with it. The question is how always is 'always'? I think the more frequent this evaluation is done, the closer a muslim to be a true muslim -- to reach taqwa.
I think it was Abu Bakr, another companion of the prophet, who said that taqwa is like walking in an alley full of thorns, you be very careful where you would step on. It is not too far fetched, I think, to relate Covey's first habit, 'be proactive' with taqwa (think of taqwa as a special version {Islamisiced, if I can say that} of being proactive).
Here's the story of one of the companion of the prophet (I think it was Ali, but not sure). It was in one of the battles in the early days of Islam (yup, if you bring something revolutionary, people will want to wage war on you). This companion of the prophet was fighting an enemy from the other side. He managed to subdue his enemy and the enemy felt down. Just before he was about to strike the final blow, the enemy spat on his face... and suddenly he stopped. When asked why didn't he delivered the final blow, he said "The enemy was waging a war towards Islam and I was there to protect my religion, when the enemy spat on me, he actually despised me, not Islam, it would be wrong for me to kill him"
A weaker man would have striked that final blow, it takes strong man to always evaluate one's inner principle and to take appropriate action (I.E. being able to respond appropriately - being responsible) according to that principle [of course, for muslims, the principle here would be Islam], not because you are caught up in some emotional momentum.
See how the prophet hone the sense of responsibility in his companions such that they would always, at all times, before any action, evaluate what response their principle requires and act in accordance with it. The question is how always is 'always'? I think the more frequent this evaluation is done, the closer a muslim to be a true muslim -- to reach taqwa.
I think it was Abu Bakr, another companion of the prophet, who said that taqwa is like walking in an alley full of thorns, you be very careful where you would step on. It is not too far fetched, I think, to relate Covey's first habit, 'be proactive' with taqwa (think of taqwa as a special version {Islamisiced, if I can say that} of being proactive).
Tuesday, January 01, 2008
Islam dan motivasi untuk membaiki diri
Orang Melayu tak cukup tamak
Itu antara frasa yang sering saya dengar sejak dibangku sekolah lagi. Orang Melayu, atas pengaruh Islam, tidak cukup tamak. Mereka cepat berpuas hati dengan apa yang mereka ada, tak tahu nak rasa tak cukup. Islam seringkali dipersalahkan kerana mengajar 'bersyukur' dan 'berpuas hari dengan nikmat yang ada' sehingga menyebabkan kemunduran muslim rata-rata.
Betapa ceteknya pemikiran kita
Di satu pihak, kita ada muslim yang menyalah tafsirkan (atau tidak cukup mentafsir) sifat bersyukur dan berpuas hati yang dipinta oleh Islam untuk 'justify' sifat malas mereka, di satu pihak lagi kita ada mereka yang menyalahkan Islam atas sifat bersyukur dan berpuas hati ini sehingga hilang motivasi untuk muslim bekerja keras.
Jadi kalau kita mesti berpuas hati dengan nikmat yang ada, what will drive us to do better?
"Ini la orang Islam" rungut seorang sahabat
"Kenapa?" tanya saya
"Tengok orang Jepun, mereka ada konsep Kaizen - constant and never ending improvement. Sentiasa memperbaiki, Islam pulak, asyik-asyik nak suruh 'berpuas hati' suruh bersyukur, kalau dah puas hati, buat apa nak improve, tak de sebab" katanya lagi sambil menggeleng-geleng kepala.
Persoalan ini sebenarnya sudah lama bermain-main dalam benak hati saya, kenapa perlu improve kalau dah berpuas hati. Saya tahu Islam memang menyuruh kita untuk improve tapi , dari satu segi, ia nampak berlawanan dengan 'bersyukur' dan 'berpuas hati'. Di mana jambatan antara dua konsep ini? Cuma semenjak dua ini saya temui jawapannya. Jawapannya ialah: tanggungjawab.
Mudahnya...
Semasa Rasullah hampir wafat, dia tidak mengira pencapaiannya, negeri mana sudah ditakluk, jajahan mana sudah diperbesar, pemimpin mana sudah dipengaruh, harta mana sudah dimiliki. Tetapi, baginda cuma bertanya kepada sahabat, sudahkah baginda selesaikan tanggungjawab baginda, para sahabat semua mengiakan pertanyaan itu.
Sebegitu besar peranan tanggungjawab dalam Islam sehingga Rasulnya pun risau mungkin tanggungjawab tak tertunai.
Jadi what drives muslim to be better? jawapannya tanggungjawab. It is our responsibility to be better, to improve... tak kira lah setakat mana kita berpuas hati dengan nikmat yang ada, tak kiralah setakat mana syukur kita, tapi sudah tanggungjawab muslim itu untuk improve. [In fact, to improve itu adalah satu tanda bersyukur: Rasulullah pernah ditanya isterinya, kenapa dia beribadat sehingga bengkak-bengkak kaki sedangkan dia sudah dijamin syurga - betapa jawab Rusullah, "[Kalau aku sudah dijamin syurga,] tidakkah aku mahu menjadi orang yang bersyukur" ]
Bukankah ada hadis Nabi yang memperkatakan, jika kita hendak menanam benih dan tiba-tiba datang Hari Kiamat, makan tanam juga benih itu. Itu tanggungjawab muslim. Muslim tak perlukan konsep canggih manggih (kaizen, 'tamak' etc.) untuk mamacu dirinya untuk improve, cukup kalau dia sedar improving one self is not a matter of vanity, but a responsibility.
Orang Melayu tak cukup tamak
Itu antara frasa yang sering saya dengar sejak dibangku sekolah lagi. Orang Melayu, atas pengaruh Islam, tidak cukup tamak. Mereka cepat berpuas hati dengan apa yang mereka ada, tak tahu nak rasa tak cukup. Islam seringkali dipersalahkan kerana mengajar 'bersyukur' dan 'berpuas hari dengan nikmat yang ada' sehingga menyebabkan kemunduran muslim rata-rata.
Betapa ceteknya pemikiran kita
Di satu pihak, kita ada muslim yang menyalah tafsirkan (atau tidak cukup mentafsir) sifat bersyukur dan berpuas hati yang dipinta oleh Islam untuk 'justify' sifat malas mereka, di satu pihak lagi kita ada mereka yang menyalahkan Islam atas sifat bersyukur dan berpuas hati ini sehingga hilang motivasi untuk muslim bekerja keras.
Jadi kalau kita mesti berpuas hati dengan nikmat yang ada, what will drive us to do better?
"Ini la orang Islam" rungut seorang sahabat
"Kenapa?" tanya saya
"Tengok orang Jepun, mereka ada konsep Kaizen - constant and never ending improvement. Sentiasa memperbaiki, Islam pulak, asyik-asyik nak suruh 'berpuas hati' suruh bersyukur, kalau dah puas hati, buat apa nak improve, tak de sebab" katanya lagi sambil menggeleng-geleng kepala.
Persoalan ini sebenarnya sudah lama bermain-main dalam benak hati saya, kenapa perlu improve kalau dah berpuas hati. Saya tahu Islam memang menyuruh kita untuk improve tapi , dari satu segi, ia nampak berlawanan dengan 'bersyukur' dan 'berpuas hati'. Di mana jambatan antara dua konsep ini? Cuma semenjak dua ini saya temui jawapannya. Jawapannya ialah: tanggungjawab.
Mudahnya...
Semasa Rasullah hampir wafat, dia tidak mengira pencapaiannya, negeri mana sudah ditakluk, jajahan mana sudah diperbesar, pemimpin mana sudah dipengaruh, harta mana sudah dimiliki. Tetapi, baginda cuma bertanya kepada sahabat, sudahkah baginda selesaikan tanggungjawab baginda, para sahabat semua mengiakan pertanyaan itu.
Sebegitu besar peranan tanggungjawab dalam Islam sehingga Rasulnya pun risau mungkin tanggungjawab tak tertunai.
Jadi what drives muslim to be better? jawapannya tanggungjawab. It is our responsibility to be better, to improve... tak kira lah setakat mana kita berpuas hati dengan nikmat yang ada, tak kiralah setakat mana syukur kita, tapi sudah tanggungjawab muslim itu untuk improve. [In fact, to improve itu adalah satu tanda bersyukur: Rasulullah pernah ditanya isterinya, kenapa dia beribadat sehingga bengkak-bengkak kaki sedangkan dia sudah dijamin syurga - betapa jawab Rusullah, "[Kalau aku sudah dijamin syurga,] tidakkah aku mahu menjadi orang yang bersyukur" ]
Subscribe to:
Posts (Atom)